Potret Buram di Balik Sedekade Aceh Damai (1)
agen poker – Raut wajah Rumaini tampak lesu saat
menjelaskan pekerjaannya sehari-hari. Maklum, sejak kampungnya
direlokasi, pemuda Desa Teungoh, Kemukiman Buloh Seuma, Kecamatan
Trumon, Aceh Selatan ini, praktis menganggur.
“Dulu waktu kami masih di Kampung Teungoh yang lama, kami masih bisa garap kebun. Sekarang kami sudah enggak punya apa-apa. Cuma rumah bantuan saja yang kami dapat setelah Aceh damai,” tutur Rumaini saat berbincang dengan Okezone beberapa waktu lalu.
Gampong Teungoh dulu terasing di pelosok hutan rawa gambut. Kisahnya bermula saat Aceh berstatus Darurat Militer tahun 2003. Aparat keamanan menyisir Gampong Tengoh kemudian meminta penduduk setempat mengungsi. Warga diminta merobohkan rumahnya sendiri, agar tak dijadikan sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Beberapa rumah yang kami biarkan berdiri dibakar,” ujarnya.
Warga kemudian eksodus ke berbagai tempat sanak saudaranya, meninggalkan kebun, ternak, unggas dan desa yang sudah puluhan tahun mereka tempati. Penduduk Desa Teungoh saat itu sekira 200 jiwa. Sebelum konflik memanas, warga desa itu sudah hidup berkecukupan dengan hasil pertanian dan ternak. Meski belum ada jalan untuk menjangkau Teungoh, setidaknya tiap pekan mereka masih bisa memasarkan sayuran, buah-buahan, lele bahkan madu ke Singkil maupun Trumon, menggunakan perahu mesin (boat).
“Semua habis waktu kami disuruh meninggalkan kampung, kami tidak diperbolehkan bawa apa-apa. Hanya dikasih waktu seminggu untuk mengosongkan kampong,” cerita Rumaini.
Bukan hanya Gampong Teungoh, ratusan warga dua desa lainnya di Kemukiman Buloh Seuma yakni Kuta Padang dan Raket, juga eksodus demi keselamatan. Nyaris tak ada warga yang berani tinggal di pedalaman Buloh Seuma kala itu. Hampir tiga tahun di pengungsian.
Warga baru kembali ke desanya setelah GAM dan Pemerintah Indonesia meneken MoU damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Gencatan senjata kedua pihak menghentikan perang yang sudah berlangsung 30 tahun. Bagi warga Raket dan Kuta Padang, ketika kembali ke desa mereka hanya membersihkan saja rumahnya masing-masing dari semak-semak yang tumbuh setelah lama ditinggal.
Berbeda dengan warga Gampong Raket. Mereka tak ada apa-apa lagi di sana. “Kampung kami sudah kembali jadi hutan,” ujar Zainal, Sekretaris Desa Teungoh.
Perkampungan baru dibuka. Lokasinya bukan di tempat lama yang sulit dijangkau, tapi kini lebih dekat dengan Desa Raket. Seratusan warga Teungoh yang sudah kembali kemudian menempati rumah-rumah bantuan dari program reintegrasi Aceh tahun 2006 yang dibangun di atas lahan hibah milik Desa Raket.
Sejak ditempatkan di lokasi baru ini, banyak warga kehilangan mata pencaharian. Mereka mayoritas petani, tapi lahan-lahan mereka sudah jadi belantara di perkampungan lama. Untuk ke sana butuh waktu dua jam mengarungi sungai, tak ada jalan. Agar tak menganggur sebagian warga kini banting stir jadi pencari lele. Jika musim barat tiba mereka beralih jadi pencari madu. Pekerjaan tak tetap ini sama sekali tak menjanjikan bagi kehidupan mereka.
“Kami hanya baru merasakan damai dari segi keamanan, tapi belum merasakan sejahtera,” tukas Rumaini.
Satu dekade sudah Aceh damai, dan puluhan triliun dana otonomi khusus dikucur ke provinsi itu. Tapi warga Buloh Seuma masih terhimpit kemiskinan. Untuk tembus ke Buloh Seuma saja, harus melalui jalan berkubang yang membelah hutan rawa. Belum lagi soal layanan pendidikan dan kesehatan yang masih jauh dari harapan.
Hal yang sama dialami warga Cot Baroh, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Cot Baroh masuk dalam “zona merah”, istilah yang digunakan militer Indonesia untuk kawasan rawan atau sarang GAM semasa konflik itu. Warga di sana juga belum sepenuhnya menikmati berkah damai.
Potret kemiskinan masih terlihat. Secara keamanan memang tak lagi masalah, karena warga sudah bebas berkebun tanpa khawatir lagi ada kontak tembak atau penyisiran aparat keamanan seperti masa konflik dulu. Tapi hasil kebun belum menjanjikan, perekonomian warga masih terpuruk. “Dulu ada coklat (kakao), tapi harganya sekarang sudah jatuh. Tanamannya pun sudah berhama,” kata Helmi Hasan (45), seorang warga setempat.
Sementara persawahan juga tak bisa diandalkan. Sejak konflik berakhir, hutan mulai dirambah sehingga debit air berkurang. Sawah kerap mengalami kekeringan. Tahun lalu warga sempat menanam kacang di area sawahnya. Tapi belakangan mati kerontang, akibat kemarau.”Tidak rezeki,” ujarnya.
Helmi sempat menjadi buruh bangunan upahan untuk menambah pemasukan, tapi pekerjaan ini juga tergantung pesanan. Menurutnya bukan cuma dirinya yang sulit dapat pekerjaan menjanjikan. “Tapi hampir rata-rata, anak muda juga banyak yang gak jelas kerja,” ujarnya. [bersambung]...
“Dulu waktu kami masih di Kampung Teungoh yang lama, kami masih bisa garap kebun. Sekarang kami sudah enggak punya apa-apa. Cuma rumah bantuan saja yang kami dapat setelah Aceh damai,” tutur Rumaini saat berbincang dengan Okezone beberapa waktu lalu.
Gampong Teungoh dulu terasing di pelosok hutan rawa gambut. Kisahnya bermula saat Aceh berstatus Darurat Militer tahun 2003. Aparat keamanan menyisir Gampong Tengoh kemudian meminta penduduk setempat mengungsi. Warga diminta merobohkan rumahnya sendiri, agar tak dijadikan sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Beberapa rumah yang kami biarkan berdiri dibakar,” ujarnya.
Warga kemudian eksodus ke berbagai tempat sanak saudaranya, meninggalkan kebun, ternak, unggas dan desa yang sudah puluhan tahun mereka tempati. Penduduk Desa Teungoh saat itu sekira 200 jiwa. Sebelum konflik memanas, warga desa itu sudah hidup berkecukupan dengan hasil pertanian dan ternak. Meski belum ada jalan untuk menjangkau Teungoh, setidaknya tiap pekan mereka masih bisa memasarkan sayuran, buah-buahan, lele bahkan madu ke Singkil maupun Trumon, menggunakan perahu mesin (boat).
“Semua habis waktu kami disuruh meninggalkan kampung, kami tidak diperbolehkan bawa apa-apa. Hanya dikasih waktu seminggu untuk mengosongkan kampong,” cerita Rumaini.
Bukan hanya Gampong Teungoh, ratusan warga dua desa lainnya di Kemukiman Buloh Seuma yakni Kuta Padang dan Raket, juga eksodus demi keselamatan. Nyaris tak ada warga yang berani tinggal di pedalaman Buloh Seuma kala itu. Hampir tiga tahun di pengungsian.
Warga baru kembali ke desanya setelah GAM dan Pemerintah Indonesia meneken MoU damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Gencatan senjata kedua pihak menghentikan perang yang sudah berlangsung 30 tahun. Bagi warga Raket dan Kuta Padang, ketika kembali ke desa mereka hanya membersihkan saja rumahnya masing-masing dari semak-semak yang tumbuh setelah lama ditinggal.
Berbeda dengan warga Gampong Raket. Mereka tak ada apa-apa lagi di sana. “Kampung kami sudah kembali jadi hutan,” ujar Zainal, Sekretaris Desa Teungoh.
Perkampungan baru dibuka. Lokasinya bukan di tempat lama yang sulit dijangkau, tapi kini lebih dekat dengan Desa Raket. Seratusan warga Teungoh yang sudah kembali kemudian menempati rumah-rumah bantuan dari program reintegrasi Aceh tahun 2006 yang dibangun di atas lahan hibah milik Desa Raket.
Sejak ditempatkan di lokasi baru ini, banyak warga kehilangan mata pencaharian. Mereka mayoritas petani, tapi lahan-lahan mereka sudah jadi belantara di perkampungan lama. Untuk ke sana butuh waktu dua jam mengarungi sungai, tak ada jalan. Agar tak menganggur sebagian warga kini banting stir jadi pencari lele. Jika musim barat tiba mereka beralih jadi pencari madu. Pekerjaan tak tetap ini sama sekali tak menjanjikan bagi kehidupan mereka.
“Kami hanya baru merasakan damai dari segi keamanan, tapi belum merasakan sejahtera,” tukas Rumaini.
Satu dekade sudah Aceh damai, dan puluhan triliun dana otonomi khusus dikucur ke provinsi itu. Tapi warga Buloh Seuma masih terhimpit kemiskinan. Untuk tembus ke Buloh Seuma saja, harus melalui jalan berkubang yang membelah hutan rawa. Belum lagi soal layanan pendidikan dan kesehatan yang masih jauh dari harapan.
Hal yang sama dialami warga Cot Baroh, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Cot Baroh masuk dalam “zona merah”, istilah yang digunakan militer Indonesia untuk kawasan rawan atau sarang GAM semasa konflik itu. Warga di sana juga belum sepenuhnya menikmati berkah damai.
Potret kemiskinan masih terlihat. Secara keamanan memang tak lagi masalah, karena warga sudah bebas berkebun tanpa khawatir lagi ada kontak tembak atau penyisiran aparat keamanan seperti masa konflik dulu. Tapi hasil kebun belum menjanjikan, perekonomian warga masih terpuruk. “Dulu ada coklat (kakao), tapi harganya sekarang sudah jatuh. Tanamannya pun sudah berhama,” kata Helmi Hasan (45), seorang warga setempat.
Sementara persawahan juga tak bisa diandalkan. Sejak konflik berakhir, hutan mulai dirambah sehingga debit air berkurang. Sawah kerap mengalami kekeringan. Tahun lalu warga sempat menanam kacang di area sawahnya. Tapi belakangan mati kerontang, akibat kemarau.”Tidak rezeki,” ujarnya.
Helmi sempat menjadi buruh bangunan upahan untuk menambah pemasukan, tapi pekerjaan ini juga tergantung pesanan. Menurutnya bukan cuma dirinya yang sulit dapat pekerjaan menjanjikan. “Tapi hampir rata-rata, anak muda juga banyak yang gak jelas kerja,” ujarnya. [bersambung]...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar